Poligami menurut Madzhab Syafi'i
Poligami atau menikahi dari seorang istri bukan
merupakan masalah baru. Ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala
diantara berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia. Dengan
tibanya Islam, poligami yang tak terbatas ditetapkan menjadi istri saja pada
suatu saat, dengan persyaratan khusus serta juga sejumlah ketentuan yang
dikenakan padanya.
Adapun syarat minimal yang harus ada dalam pelaksanaan
poligami adalah : 1) adanya persetujuan isteri atau isteri-isteri, adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka; 3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka (pasal 5 ayat 1).
Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku
sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang
suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri. Poligami adalah seorang
laki-laki yang beristri lebih dari satu dan dibatasi hanya empat orang istri
saja. Landasan poligami yaitu surat An-Nisa ayat 3.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOuryì»t/â‘ur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès?﴿النساء : 3 ﴾
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ : 3)
Bahwa Ulama
Syafi’iyah (pengikut madzhab Syafi’i) merupakan para ulama pengikut
Madzhab Syafi’i. Dimana madzhab ini didirikan oleh tokoh besar sebagai
ulama fiqh kenamaan yang bernama lengkap Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
Al-Quraisyi, yang dikenal dengan nama simpel Imam Syafi’i.
Menurut
Ahmad Rofiq, ketentuan ayat 3 QS. An-Nisa’ merupakan syarat utama yang
sekaligus merupakan kewajiban suami terhadap isteri-isteri atau
isteri-isterinya adalah jaminan keadilan, dari nafkah-nafkah sehari-hari,
tempat kediaman, dan kebutuhan lainnya. Keadilan suami terhadap
isteri-isterinya merupakan kewajiban yang harus diperhatikan. Hal ini disyaratkan
dalam sabda yang diriwayatkan Abu Hurairah yang menyampaikan ultimatum
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَاَتَانِ فَمَالَ اِلَى
اِحْدَاهُمَا دُوْنَ اْلاُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ
مَائِلٌ ﴿رواهاحمد والاربعة وسنده صحيح﴾
“Barangsiapa seorang (suami) mempunyai dua orang isteri,
kemudian ia cenderung kepada salah satunya, tetapi tidak kepada yang lain, maka
ia datang di hari kiamat separuh badannya menceng” (HR. Ahmad, dan Imam Empat,
dengan sanad yang sahih)
Imam
Syafi’i menegaskan pada kasus poligami ini beliau mencoba mentransformasikan
hadis dalam praktik Nabi Muhammad SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Kemudian
pada kasus poligami ini, Nabi sedang mengejawantahkan QS. An-Nisa ayat 2-3
mengenai perlindungan
terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami'
al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn
al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi
adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika
lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa
dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan
Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti
Abu Bakar ra.
terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami'
al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn
al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi
adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika
lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa
dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan
Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti
Abu Bakar ra.
Sayid
Sabiq, memaparkan Imam Syafi’i berkata bahwa masalah poligami telah ditunjukkan
oleh sunnah Rasulullah sebagai penjelasan dari firman Allah, bahwa selain
Rasulullah SAW tidak ada seorang pun yang dibenarkan kawin lebih dari empat
perempuan.
Seperti dijelaskan dalam kitab Al-Umm,
Imam Syafi’i menyatakan turunnya ayat tentang pembolehan poligami ini
adalah sesuai dengan firman Allah SWT (QS. An-Nisa’: 3) : “Maka kawinilah
wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga dan empat”. Pada saat ayat ini
diturunkan, masyarakat Arab memiliki isteri yang tidak dapat dihitung dengan
jari dan budak-budak wanita yang tidak terbatas jumlahnya. Dengan turunnya ayat
ini, Al-Qur’an melarang seluruh umat Islam untuk menikah lebih dari empat orang
(kekhususan hanya diberikan kepada Rasulullah SAW).
Lebih
lanjut Imam Syafi’i juga memberikan saran, apabila tidak bisa
berlaku adil, hendaknya beristri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama ahli
Sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri lebih
dari empat maka hukumnya haram. Dan perkawinan yang kelima dan seterusnya
dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang
istri yang empat itu dan telah habis pula masa iddah-nya. Dalam masalah
membatasi istri empat orang saja, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut
telah ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah saw sebagai penjelasan dari firman
Allah, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih
dari empat perempuan. Sedangkan pada ayat dzalika ‘adna an la ta ‘ulu dipahami
oleh Imam Syafi’i dalam arti tidak banyak tanggungan kamu. Ia terambil dari
kata ‘ala ya‘uluyang berarti “menanggung dan membelanjai”.
Imam
Taqiyuddin Abi Bakr al-Husaini, menegaskan juga bahwasannya seorang laki-laki
boleh melaksanakan poligami. Poligami yang disyaratkan ini adalah kebolehan laki-laki
hanya menikahi perempuan tidak lebih dari 4 orang perempuan (istri). Peristiwa
ini pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW., dimana Ghilan masuk Islam, ia
mempunyai 10 orang istri. Lalu Nabi SAW. bersabda kepadanya: “Pilihlah yang
empat orang dan ceraikan yang lain“. Peristiwa juga pernah terjadi ketika
Naufal bin Muawiyah masuk Islam, ia mempunyai 5 orang isteri, Nabi SAW.
bersabda kepadanya: “Pilihlah yang empat orang dan ceraikan yang lain“.
Penganut madzhab Syafi’i mensyaratkan mampu
memberi nafkah bagi orang yang akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan
pemahaman Imam Syafi’i terhadap teksAl-Qur`an, “yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar
tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam kitab “Ahkam Al-Qur’an”, Imam Baihaqi juga mendasarkan keputusannya terhadap
pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman madzhab Syafi`i jaminan yang
mensyaratkan
kemampuan memberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu memberi nafkah bukan syarat putusan hukum.
kemampuan memberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu memberi nafkah bukan syarat putusan hukum.
Dengan
demikian, penulis dapat menggarisbawahi apa yang disampaikan madzhab Syafi’i
tentang poligami, bisa disimpulkan bahwa poligami adalah rukhsah(keringanan),
bukan tujuan utama dan bukan pula anjuran. Justru poligami adalah sebuah
batasan. Dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada seruan untuk melakukan poligami,
kecuali dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.
macam pandai jak kw wan..orang batam 1 ni haaaaa
BalasHapusqw mao poligami ke wan..
BalasHapus