Kamis, 23 April 2015

Islam Radikal dan Tudingan Terorisme

Islam Radikal dan Tudingan Terorisme

Dalam konteks inilah, provokasi menyudutkan Islam bukanlah cara yang tepat untuk memperteguh semangat moderasi di kalangan muslim. Radikalisasi Islam mesti dicairkan secara lebih genuine dan otentik dengan melakukan gerakan dakwah yang menyuguhkan semangat moderasi, toleran, dan damai. Hal ini dilakukan melalui gerakan kultural yang bisa menyadarkan kepada umat bahwa Islam sebagai agama tidak mengajarkan tindakan terorisme.


Dari Media Indonesia, 27 September 2002

BELAKANGAN ini tudingan Indonesia sebagai sarang terorisme terus diperbincangkan. Bocoran laporan dinas intelijen Amerika Serikat, CIA, yang disebarluaskan majalah terkemuka Time, telah menghentakkan perhatian kita kepada gerakan Islam di Tanah Air. Apa sebab? Karena dokumen yang didasarkan atas pengakuan Umar Al Farouk, seseorang yang diduga sebagai agen tertinggi jaringan Al-Qaeda di Asia Tenggara, menyebutkan keterkaitan organisasi Islam di Indonesia ke dalam jaringan terorisme. Tak pelak lagi, perhatian kita tertuju kepada Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, dan Majelis Mujahidin, yang selama ini dicurigai memiliki keterkaitan dengan jaringan Al-Qaeda.

Apakah mungkin Islam di Indonesia sudah berubah corak dari Islam yang berwajah damai menjadi Islam berwajah teroris? Bukankah mayoritas masyarakat muslim di Indonesia justru menunjukkan watak yang moderat dan damai? Karena itulah, hal yang positif ketika Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Ralp L Boyce, saat berdialog dengan sejumlah ormas Islam di Kantor PP Muhammadiyah baru-baru ini, mengklarifikasi bahwa pihaknya maupun pemerintah AS tidak menilai kelompok/organisasi Islam terlibat dalam jaringan teoris internasional (Media Indonesia, 26/9/2002). Boyce hanya mengatakan adanya indikasi jaringan terorisme internasional, Al-Qaeda, berkeliaran di Indonesia.

Penegasan Dubes AS ini menunjukkan iktikad baik pemerintahnya untuk berdialog dengan ormas Islam, sekaligus menilai Islam di Indonesia secara objektif, bukan dilandasi oleh kecurigaan yang berlebihan. Terutama dengan maraknya gerakan Islam radikal, yang semakin menegaskan dirinya untuk melakukan perubahan secara mendasar ke dalam nilai-nilai Islam dan semakin kritis terhadap kebijakan politik AS yang berkenaan dengan dunia Islam.

Ancaman Islam

Tampaknya setelah tragedi kelabu 11 September tahun lalu, kekhawatiran pemerintah AS terhadap ancaman terorisme tetap berlanjut. Sehingga mereka terus melakukan upaya serius untuk membasmi terorisme di mana pun, termasuk dugaan keberadaannya di Indonesia. Tapi sayangnya, kebijakan politiknya sangat membabi buta, dan tidak didasarkan pada kenyataan objektif. Sehingga kecurigaan AS terhadap gerakan Islam radikal di Timur Tengah berlanjut ke kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan gerakan Islam yang sangat pesat di Indonesia ternyata telah memancing kecurigaan pemerintah AS untuk melihat Islam di dalamnya dan kemungkinan terkait dengan jaringan terorisme. Itu sebabnya, pemerintah AS terkesan menggeneralisasi Islam di Indonesia sebagai sarang teroris.

Sebenarnya, bukan saja pemerintah AS yang melakukan penilaian miring terhadap Islam, tetapi juga para intelektualnya yang bersikap skeptis. Elaine Sciolino, misalnya, pernah menulis artikel di New York Times edisi 21 Januari 1996, dengan tema, The Red Menace is Gone. But Here's Islam yang mendorong pembaca untuk memandang Islam sebagai 'ancaman hijau' (the green menace), yakni bahaya terhadap kepentingan Barat. Komentar miring seperti ini terus dilancarkan secara akademik, seperti yang dilakukan Bernad Lewis dan Samuel P Huntington, yang pada gilirannya memunculkan ketegangan emosional antara dunia Islam dan Barat.

Penilaian seperti inilah yang menciptakan rasa permusuhan yang berlarut-larut di antara kedua belah pihak. Pihak AS mencurigai aksi terorisme dilakukan kelompok radikal di dunia Islam, sebaliknya pihak Islam mencurigai AS dan sekutu-sekutunya ingin menghancurkan Islam dengan melancarkan propaganda yang amat berlebihan. Bahkan, labelisasi Islam sebagai agama teroris telah menggerakkan perlawanan luar biasa dari umat Islam di mana pun.

Menghindari dampak

Dalam konteks inilah, provokasi yang dilancarkan AS beserta media internasionalnya bisa menjadi bumerang. Paling tidak ada dua akibat yang ditimbulkan dari tudingan Indonesia sebagai sarang teroris. Pertama, jika Islam terus disudutkan, ditekan, dan dicurigai oleh kelompok di luarnya, bukan berarti semakin memperlemah dan menyudutkan gerakan Islam. Justru yang terjadi adalah gerakan Islam menjadi semakin radikal dan siap mati untuk melawan atas nama agama. Radikalisasi umat Islam akan menemukan bentuknya untuk melakukan perlawanan dan bahkan ini bisa dijadikan momentum untuk menggerakkan umat bersikap radikal. Sejarah telah membuktikan, ketika dahulu di masa Orde Baru, Islam ditekan secara sporadis sebagai 'ekstrem kanan', tidak menyebabkan gerakan Islam mati dan hancur, malah semakin menunjukkan corak radikal. Itulah yang terjadi pada gerakan Imron, Salman Hafizh, peristiwa Haor Koneng, dan Tanjung Priok. Bahkan, di era kebebasan dan keterbukaan politik seperti sekarang ini, radikalisasi Islam dijadikan momentum strategis untuk melakukan perlawanan kepada Barat yang selalu memojokkan Islam.

Kedua, bukan tidak mungkin, kelompok Islam yang sudah cukup moderat berubah haluan menjadi radikal melawan kebijakan AS. Bukankah ini yang tidak kita inginkan? Kelompok moderat yang sudah susah payah menjelaskan kepada masyarakat internasional bahwa Islam di Indonesia tidak didominasi oleh kelompok radikal menjadi berbalik mengecam provokasi yang menyudutkan Islam. Investasi jangka panjang bagi perkembangan Islam yang semakin moderat menjadi hancur berantakan akibat blunder yang dilakukan AS.

Ketiga, radikalisasi umat tak bisa dibayangkan jika didukung oleh semangat nasionalisme. Hal ini terjadi ketika ada intervensi asing terhadap kedaulatan dalam negeri. Nasionalisme yang dibungkus oleh agama sangat efektif untuk menggerakkan perlawanan terhadap kepentingan asing. Itu sebabnya, radikalisasi bisa timbul di kalangan kaum sekuler yang disulut oleh intervensi asing yang dianggap merecoki urusan dalam negerinya.

Dalam konteks inilah, provokasi menyudutkan Islam bukanlah cara yang tepat untuk memperteguh semangat moderasi di kalangan muslim. Radikalisasi Islam mesti dicairkan secara lebih genuine dan otentik dengan melakukan gerakan dakwah yang menyuguhkan semangat moderasi, toleran, dan damai. Hal ini dilakukan melalui gerakan kultural yang bisa menyadarkan kepada umat bahwa Islam sebagai agama tidak mengajarkan tindakan terorisme.[]

1 komentar: